Dalam sebuah
diskusi dengan relawan PROFAUNA Indonesia untuk program konservasi hutan,
seorang relawan bernama Chyntia bertanya ke saya, “apa tips agar dapat pasangan
yang serasi yang mendukung kegiatan konservasi alam yang kita lakukan, karena
saya lihat Pak Rosek dan Bu Made (baca: istri saya) itu serasi banget?”
Saya
tersenyum mendengar pertanyaan itu. Sebuah pertanyaan yang wajar, karena fakta
ada banyak orang yang saya kenal ketika mereka bujangan alias sebelum menikah
itu sangat aktif berkiprah di dunia konservasi alam, namun begitu dia menikah,
perlahan-lahan undur diri dan kemudian raib.
Ada yang
mengaku secara terangan-terangan dilarang oleh suami atau istrinyanya. Bahkan
ada yang sebelum menikah itu pamit kepada saya, “maaf pak, bulan depan saya
menikah dan setelah menikah saya tidak bisa aktif lagi karena sama suami
dilarang”. Perkataan itu disampaikan dengan wajah galau.
Saya heran,
kenapa para suami (atau istri) melarang pasangannya aktif melakukan kegiatan konservasi
alam itu? Saya kira bukan soal kegiatannya yang dilarang, tetapi perasaan ingin
“menguasai” pasangannya atau ingin bahwa ketika kau menjadi pasangan sah-ku,
maka akulah yang nomor satu. Akulah yang harus kau utamakan, bukan yang
lainnya. Engkau milikku sepenuhnya, secara sah!
Saya tidak
sepakat dengan konsep “penguasaan” dalam pernikahan seperti itu. Pernikahan adalah ikatan lahir batin dua insan
manusia yang kemudian menjadi suami istri secara sah atas dasar kepercayaan,
kesetiaan dan ketulusan. Saling percaya, setia dan tulus menjadi kunci
keharmonisan dalam berumah tangga.
Salah satu
bentuk saling percaya itu adalah memberikan kebebasan kepada pasangannya untuk
melakukan hobby atau kegiatan yang posisitf yang disukainya. Kita tidak perlu
cemburu dengan hobby atau kesukaan pasangan kita, sepanjang itu hal yang positif.
Apakah kegiatan dibidang konservasi alam itu positif? Saya kira ini sangat
positif, tidak ada jeleknya, sehingga tentunya patut didukung. Beda ceritanya,
kalau hobby pasangannya itu adalah judi, narkoba atau mabuk, maka ini menjadi
wajar kalau pasangannya menjadi “pengawas” yang mengerem atau bahkan
menghentikan hobby negatif tersebut.
Kalau kita sudah
terikat dalam sebuah tali pernikahan suci, yang kita berikrar akan setia hingga
ajal tiba, mengapa harus tidak percaya kepada pasangannya? Kalau kita ragu
dengan pasanganmu, mengapa kau menikahinya? Mengapa kau harus mengekangnya? Bukankah
memberikan kebebasan untuk hal yang positif itu sebuah bentuk kepercayaan dan
kesetiaan?
Bagaimana
membangun kepercayaan di keluarga? Selalu terbuka dan jangan pernah bohong, ini
adalah kuncinya. Selalu sampaikan secara jujur dengan bahasa yang baik ke
pasangan kita, untuk menghindari salah paham, apalagi sampai gagal paham yang
berujung berantem.
Salah satu
relawan Ranger PROFAUNA itu ada yang sangat sulit dapat izin dari istrinya
untuk kegiatan di lapangan, padahal secara pekerjaan itu dia punya waktu luang yang
bisa diatur sesukanya, karena dia bekerja tidak ikut orang lain. Belakangan
saya baru tahu bahwa ternyata relawan tersebut tidak jujur sepenuhnya ke
isrinya tentang kegiatannya di PROFAUNA. Sang istri mengira kegiatan suaminya
di PROFAUNA itu adalah “jalan-jalan” alias berwisata, sehingga dia merasa cemburu
kepada sang suami. Sang istri berontak, “kalau kamu jalan-jalan, kenapa aku
tidak diajak?”
Andai saja
sang suami bisa menjelaskan bahwa kegiatan dia sebagai relawan Ranger PROFAUNA
itu bukan sekedar jalan-jalan, namun sebuah tugas yang mengandung resiko berat,
karena tugasnya adalah menjaga hutan, mungkin pandangan sang istri akan beda.
Perlu dijelaskan bahwa tidak bisa sang istri selalu ikut dalam kegiatan patrol hutan
bersama PROFAUNA, karena ada prosedur dan tata aturannya untuk mengikutinya.
Mis-komunikasi
dan mis-informasi itu bisa menjadi masalah serius dalam menjaga keharmonisan berumah
tangga. Dalam rumah tangga ada cemburu, ada pertengkaran kecil, itu adalah hal
biasa. Ini adalah bumbu penyedap dalam membina pernikahan. Tetapi kalau sudah
masuk kategori cemburu buta, mengekang dan melarang hal yang postif, bagi saya
ini adalah sebuah pernikahan yang tidak sehat.
Mengapa saya
katakan itu pernikahan yang tidak sehat? Karena esensi dari pernikahan itu
salah satunya adalah membuat kita lebih bahagia. Kalau kemudian pernikahan justru
membuat kita tidak bahagia, merasa terkekang dan kemudian akhirnya mencuri-curi
untuk melakukan hal positif yang kita senangi, bukankah ini sebuah kemunafikan?
Mari mulai
terbuka, mulai komunikasi dengan baik kepada pasangan. Mulailah jujur, tidak
berbohong ke pasangan kita. Sampaikan ke pasanganmu bahwa kegiatan konservasi
alam itu baik, bahwa ini positif dan ini adalah bagian dari ibadah. (Rosek Nursahid, founder PROFAUNA Indonesia)