Secara
teoritis hutan lindung ditetapkan oleh pemerintah karena fungsinya sebagai
penyangga kehidupan, seperti untuk ketersediaan air, mencegah erosi, mencegah
banjir dan menjaga kesuburan tanah. Jelas begitu penting arti keberadaan hutan
lindung bagi kehidupan masyarakat, karena salah satu fungsi pokoknya adalah
menjaga tata air atau ketersediaan air.
Namun antara
teori dan aturan hukum, seringkali tidak sejalan dengan kenyataan di lapangan.
Faktanya ada banyak hutan lindung di Jawa yang sudah beralih fungsi menjadi
lahan pertanian atau perkebunan. Kebutuhan ekonomi seringkali menjadi alasan
untuk merambah hutan lindung.
Luasnya
kawasan hutan lindung dan minimnya jumlah petugas Perhutani yang mengelola
hutan lindung, membuat perambahan hutan lindung tersebut menjadi lebih leluasa
dilakukan secara ilegal. Tahu-tahu, sudah ada sekian hektar hutan yang sudah
tidak lagi berwujud tanaman pohon berkayu, namun sudah beralih menjadi tanaman
sayur-mayur atau kebun pisang. Bahkan penanaman sayur tesebut ada yang
berlangsung sudah lebih dari 10 tahun.
Jika hutan
lindung sudah beralih menjadi kebun sayur atau kebun pisang, apa yang bisa
dilakukan? Jelas itu memang melanggar hukum karena mereka merambah hutan tanpa
izin, tapi apakah tindakan penegakan hukum akan menyelesaikan permasalahan?
Sementara jumlah petani yang menggarap hutan tersebut di suatu daerah bisa mencapai
ratusan orang.
Salah satu
jalan tengah yang bisa ditempuh adalah dengan merangkul petani untuk memulihkan
hutan lindung tersebut dengan alih komoditi tanaman, dari tanaman sayur atau
pisang menjadi pohon buah-buahan. Dengan demikian petani akan dapat keuntungan
ekonomi dari memanen buahnya, namun fungsi pohon dalam menjaga keseimbangan
ekosistem itu tetap berjalan.
Hadiah Hari Konservasi Alam Nasional
Terbaru,
petani yang menyatakan siap memulihkan hutan lindung di lereng Gunung Arjuna
adalah petani yang menggarap lahan petak 76 Pringjowo yang berada di ketinggian
1500 meter dpl. Pernyataan petani siap memulihkan hutan lindung tersebut
dituangkan dalam surat pernyataan yang ditandatangani petani yang berjumlah 5
orang pada tanggal 10 Agustus 2021, tepat di Hari Konservasi Alam Nasional.
Tidak main-main, penandatanganan surat pernyataan tersebut dihadiri juga oleh
jajaran Tahura Raden Soerjo, Perhutani KPH Malang, LMDH dan PROFAUNA Indonesia.
Choir Mauluna,
kepala resort Tahura R Soerjo setempat, mengatakan, “kami senang jika hutan
lindung yang dibawah pengelolaan Perhutani ini bisa dipulihkan fungsinya
sebagai hutan lindung, karena lokasinya berbatasan dengan kawasan hutan
konservasi Tahura R Soerjo. Jangan sampai perambahan atau penggarapan
pertaniannya semakin meluas”
Untuk
memudahkan koordinasi, petani hutan yang menggarap lahan di Pringjowo tersebut
dibentuk kelompok yang diketuai oleh Imam Safii, warga Sidomulyo, Kota Batu.
Imam mengatakan, “saya berharap dalam 5 tahun mendatang hutannya sudah pulih
kembali dan petani bisa memanen buah-buahan, sehingga tidak lagi menanam sayur.
Di tepi lahan garapan juga akan kami tanami pohon-pohon besar seperti sukun
atau bendo”
Bersedianya
petani hutan untuk menghentikan perluasan lahan pertanian di hutan lindung dan
mulai melakukan rehabilitasi hutan, itu tidak terlepas dari upaya intensif dari
PROFAUNA Indonesia yang melakukan pendekatan humanis ke petani.
“Dalam soal
pelestarian hutan, masyarakat lokal seperti petani hutan ini harus kita rangkul
dan menjadi pelaku utama, bukan sekedar sebagai obyek semata. Kolaborasi dengan
berbagai pihak, termasuk masyarakat lokal ini menjadi kunci keberhasilan
program rehailitasi hutan,” kata Rosek Nursahid, Pendiri PROFAUNA Indonesia.
“Kami
mengucapkan terima kasih kepada PROFAUNA yang telah membantu kami dalam
memulihkan hutan lindung yang sudah dibuat lahan petanian tersebut. Bantuan
PROFAUNA ini sangat membantu upaya pelestarian hutan di wilayah kerja kami,”
kata Bambang Setiyono dari Perhutani RPH Junggo.