Perdagangan ilegal penyu hijau yang tidak terungkap
ke publik diduga lebih banyak jumlahnya. Praktik ini diduga memiliki jaringan
luas, karena tidak mungkin dilakukan secara perorangan, kata pegiat. Hal
itu menanggapi langkah kepolisian di Bali yang menangkap seorang pedagang penyu
hijau.
Polisi
menyebut perdagangan satwa dilindungi itu terjadi semenjak 1998.
Pendiri
Yayasan ProFauna Indonesia Rosek Nursahid menduga perdagangan penyu yang tidak
terungkap bahkan “lebih banyak” dari temuan polisi pada 30 April lalu yang
berjumlah 21 penyu hijau.
"Dan
kita juga tidak tahu bagaimana yang lolos, yang tidak terdeteksi oleh petugas?
"Kalau
menurut kami pemerintah harus tegas, tidak ada pemanfaatan penyu karena jelas
itu dilindungi,” kata Rosek kepada BBC News Indonesia.
Rosek
menduga praktik perdagangan penyu ini memiliki jaringan, karena kecil
kemungkinan hal itu dilakukan secara individu.
“Kami
tidak percaya kalau ini tidak berjaringan, karena penyunya bukan berasal dari
Pulau Bali, kan dari luar pulau, dari Madura, dari Jawa, kalau dulu dari Flores
juga dan Sulawesi. Artinya ada orang dong,” tegas Rosek.
Namun,
polisi mengatakan penangkapan penjual penyu hijau kali ini tidak bekerja sama
dengan grup-grup atau sindikat.
“Kalau
saya lihat tidak ada. Dia main sendiri. Sejauh ini masih masing-masing,” kata
Kabid Humas Polda Bali, Kombes Stefanus Satake Bayu Setianto kepada wartawan
Ade Mardiyati yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Selasa (02/05).
Dari
hasil penyelidikan, Direktorat Kepolisian Perairan dn Udara Polda Bali
mengamankan 21 penyu hijau yang masih hidup dari seorang tersangka berinisial
MJ, seorang warga Benoa, Badung, Bali.
Penyu-penyu
itu, kata Stefanus, didapatkan dari daerah Madura, Jawa Timur.
Selain
itu, ada juga dua paket daging penyu yang sudah dicacah dan dibumbui. Per
paketnya dijual dengan harga Rp300.000.
Polisi
mengetahui tindakan ilegal MJ karena ada laporan dari masyarakat sekitar.
Untuk Upacara Adat
Kombes
Stefanus mengatakan dalam setahun rata-rata terjadi dua kasus penangkapan
penjual penyu hijau di Bali. Dia bahkan menyebut penyu hijau masih memiliki
penggemar di Bali.
Diduga,
masih ada upacara-upacara adat Bali yang menggunakan penyu hijau sebagai bagian
dari upacara.
“Berarti
memang ada permintaan,” ujar Stefanus.
Menurut
salah seorang warga Bali di Denpasar— yang hanya mau disebut dengan nama
Wayan—kebiasaan mengkonsumsi daging penyu hijau sudah dikenalnya sejak duduk di
bangku sekolah dasar sekitar tahun 1987 silam. Laki-laki berusia 45 tahun ini
mengaku mengonsumsi daging penyu ketika ada “upacara-upacara besar di pura”.
“Dulu
memang lazim untuk menggunakan penyu sebagai sesajen dalam upacara-upacara dan
yang dipakai adalah penyu-penyu ukuran besar,” kata Wayan.
Namun,
sekarang kondisinya sudah berubah. Dia bilang penyu tidak boleh lagi dikonsumsi
dan hanya dipakai untuk upacara pekelem, itupun yang berukuran kecil. Upacara pekelem merupakan
upacara ruwatan untuk laut, gunung, dan Bumi.
“Sebenarnya
tidak cuma penyu saja yang dipakai. Kadang hewan-hewan jenis lain juga
dipakai,” ujar bapak satu anak itu.
Untuk
ruwatan bumi, kata Wayan, penyu akan disembelih lalu ditanam atau dikubur.
Sedangkan untuk ruwatan laut, penyu akan dilepaskan ke laut dalam keadaan
hidup. Untuk
ruwatan gunung, penyu juga akan dilepaskan begitu saja.
Dari
hasil investigasi Yayasan ProFauna Indonesia pada 1999, sekitar 9.000 ekor
penyu diperdagangkan di Bali hanya dalam kurun waktu 4 bulan, dari Mei hingga
Agustus, dengan pusat perdagangan penyu yang berada di Tanjung Benoa.
Rosek
Nursahid meyakini penggunaan penyu untuk komersil lebih banyak dibandingkan
untuk upacara adat—yang paling tidak menggunakan satu penyu sebagai simbol. Bahkan
menurut beberapa pedanda—ulama/pendeta
agama Hindu— yang ditemui Rosek, pemanfaatan penyu dalam upacara hanya
dilakukan pada saat Upacara Tawur Agung yang dilakukan seratus tahun sekali dan
itu pun “bisa diganti”.
“Kenapa
setiap tahun selalu ada puluhan penyu yang masuk? Berarti bukan untuk
kepentingan adat atau upacara. Berarti untuk kepentingan komersil yang dipakai
untuk sate, untuk lawar, yang dijual terutama di Denpasar Selatan… sampai ke
Benoa,” ujar Rosek.
Di
kalangan masyarakat Bali, daging penyu umumnya diolah menjadi sate atau
campuran lawar, makanan khas Bali sejenis urap. Wayan mengaku meski dirinya
paham penyu hijau adalah termasuk satwa yang dilindungi. Dia pun masih mau
mengonsumsinya jika bisa menemukan warung yang menjual olahan daging penyu.
“Tapi
memang sulit mencari warung yang menjual daging penyu. Dan kalaupun ada,
sebenarnya sulit untuk membedakan apakah benar yang mereka jual adalah daging
penyu atau daging babi biasa karena rasanya yang mirip,” ujar Wayan.
Meski
mengaku terakhir kali mengonsumsi daging penyu puluhan tahun lalu, Wayan masih
ingat rasa dan tekstur hewan yang dilindungi itu.
“Rasanya
enak. Mirip daging babi panggang, tapi lebih banyak lemaknya.”
Sudah Berkurang
Menurut
WWF Indonesia Praktik pemanfaatan penyu, khususnya penyu hijau, di Pulau Bali
disinyalir telah terjadi sejak 1960-an. Namun, beberapa dekade terakhir WWF
Indonesia mengatakan angkanya telah “berkurang dibanding dulu”.
Sebab,
sudah banyak upaya-upaya yang dilakukan berbagai pihak untuk mengurangi
perdagangan maupun pemanfaatan penyu, meski permintaannya masih tetap ada.
Bahkan
saat ini, perdagangan penyu, terutama produk turunannya, juga dijual “secara online”.
Ketua
Pengurus Yayasan Penyu Indonesia (YPI), Jatmiko Wiwoho, juga mengatakan
penangkapan terhadap penjual penyu hijau di Bali belakangan sudah cukup jarang.
Jatmiko
mengatakan, menurut masyarakat, konsumsi penyu sudah jauh menurun.
“Kalau
di Bali, saya pikir kesadaran masyarakat tentang hal ini sudah cukup, namun
perdagangan gelap selalu ada,” kata Jatmiko.
Apa peran penyu sehingga harus
dilindungi?
Peran
penyu hijau yang sangat penting dalam ekosistem laut menjadikan alasan mengapa
perlindungan terhadap penyu hijau “sangat penting dan mendesak”. Penyu hijau
“memakan spons-spons” di laut dan ketika terurai akan “menjadi rumah bagi
ikan-ikan”.
“Selain
itu, penyu hijau juga memakan ujung-ujung lamun, tumbuhan yang bentuknya
seperti rumput laut. Dimakannya ujung-ujung lamun ini akan membuka jalan
masuknya cahaya matahari ke dalam laut.
Selebihnya,
lamun juga menjadi tempat untuk memijah atau menempelkan telur bagi ikan-ikan.
Inilah mengapa peranan penyu hijau itu penting untuk siklus atau ekosistem di
dalam laut,” kata Jatmiko.
Perilaku
penyu memakan bagian-bagian lamun ternyata juga membantu penyebarannya. Artinya
jika penyu hijau punah maka padang lamun juga akan menghilang dan otomatis ikan
juga tidak akan ada lagi di lautan.
“Penyu
hijau berperan membantu menyehatkan ekosistem padang lamun di suatu perairan,
di mana ekosistem padang lamun ini berguna dalam penyerapan karbon laut,” kata
Ranny R. Yuneni, Koordinator Spesies Laut Yayasan WWF Indonesia.
Perdagangan
dan pemanfaatan semua jenis penyu di Indonesia dilarang sejak 1990 dengan
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990. Penyu hijau juga masuk ke dalam daftar satwa
yang dilindungi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 tentang
Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, termasuk melalui Undang-undang Perikanan
Nomor 45 tahun 2009.
WWF
Indonesia menyatakan terdapat penurunan populasi penyu secara drastis, baik di
Indonesia maupun di tataran global.
“Upaya
perlindungan penyu penting dilakukan untuk mencegah kepunahan spesies ini karena
dari 1.000 bayi penyu (tukik) yang dilahirkan, peluang untuk bertahan mencapai
umur dewasa hanya 1 banding 1.000,” ujar Ranny.
Artikel ini telah tayang di: https://www.bbc.com/indonesia/articles/cy6vdnv254no